Jumat, 26 Mei 2017

LIMA poin bantahan atas penyimpangan ISLAM JAMAAH LDII

LIMA poin bantahan atas penyimpangan ISLAM JAMAAH
.
Tulisan ini mengulas kesesatan yg mndasar dr pemaham ala islam jamaah, suatu kelompok yg pernah eksis sebelum bermetafora seperti kupu2 nan cantik dari sebelumnya seekor ulat bulu yang bikin risih.
.
Bagi yg merasa bukan menjadi pelestari aliran islam jamaah, jangan baper. dsini tdk ada koq menyebut nama ormas islam yg berpusat di kediri yg konon diisukan sebagai penerus isl jamaah. klu gak percaya silahkan dibaca hingga tuntas!
.
.
1. Kesesatan/Penyimpangan ISLAM JAMAAH Dari Segi Imamah

Pokok atau pangkal kesesatan Islam Jama'ah yang utama terletak pada otoritas mutlak bagi imam yang dibai'at, yaitu H. Nurhasan Ubaidah Lubis (Madigol) dengan nama kebesarannya: Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir. KEMUDIAN keamirannya dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Abdul Dhohir dan sekarang Sulthon Auliya.
Mereka menafsirkan serta mengimplementasikan Al-Qur'an dan hadits dengan cara dan keinginan mereka sendiri. Sejak awal, semua anggota sudah diarahkan atau didoktrin untuk hanya menerima penafsiran ayat dan hadits yang berasal dari imam/amirnya. Dan mereka menyebutnya dengan istilah MANQUL. Jadi, semua anggota Islam Jama'ah dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam/amir karena penafsiran yang tidak bersumber dari imam dikatakannya semua salah, sesat, berbahaya dan tidak manqul. Doktrin ini diterima sebagai suatu keyakinan oleh semua anggota Islam Jama'ah.
Maka sudah tentu pendapat atau pemahaman yang seperti ini tidak dapat dibenarkan. Karena Al-Qur'an dan Hadits tidak ada yang menyebutkan bahwa otoritas/kekuasaan mutlak untuk menafsirkan dan mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits berada di tangan imam.
Amir/imam mereka (Islam Jama'ah) dalam rangka mendoktrinkan anggotanya soal imamah menggunakan Al-Qur'an surat Al-Isra': 71) yang artinya:
"Pada hari Kami memanggil tiap-tiap manusia dengan Imam mereka." (Q.S.Al-Isra':71)
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol): Pada hari kiamat nanti setiap orang akan dipanggil oleh Allah dengan didampingi oleh imam mereka yang akan menjadi saksi atas semua amal perbuatan mereka di dunia. Kalau orang itu tidak punya imam dikatakannya pada hari kiamat nanti tidak ada yang menjadi saksi baginya sehingga amal ibadahnya menjadi sia-sia dan dimasukkan kedalam neraka. Oleh karena itu, katanya semua orang Islam harus mengangkat atau membai'at seorang imam untuk menjadi sksi bagi dirinya pada hari kiamat. Dan jama'ah harus taat kepada imamnya agar nanti disaksikan baik oleh imam dan dimasukkan ke dalam surga, dan orang yang paling berhak menjadi Imam adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), katanya. Karena dia dibai'at pada tahun 1941, maka orang-orang yang mati sebelum tahun 1941, berarti mereka belum berbai'at, jadi pasti masuk neraka, katanya.
Menurut penafsiran pada pemahaman yang lurus (dapat dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir):
Lafazh imam dalam ayat itu, menurut Mujahid dan Qatadah artinya ialah: nabiyyihim "nabi mereka." Sehingga sebagian ulama salaf berkata, bahwa ayat ini menunjukan kemuliaan dan keagungan para pengikut hadits (Ash-habul-Hadits), karena pada hari kiamat nanti mereka akan dipimpin oleh Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam ( tambahan penulis : bukan dipimpin oleh Nur Hasan/Madigol, orang Jawa Timur yang baru lahir kemarin).
Sedangkan Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud 'imam' di dalam ayat itu, ialah bikitaabi a'maalihim "Kitab catatan amal mereka", seperti yang disebutkan dalam surah Yasin:12 yang berbunyi :
"Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang nyata."
Jadi, menurut dua keterangan ini, pada hari kiamat tiap-tiap orang akan dipanggil oleh Allah dengan didampingi oleh nabi-nabi mereka dan juga kitab- kitab catatan amal mereka. Siapa saja yang ingin meneliti lebih jauh dalam masalah ini, silahkan periksa Tafsir Ibnu Katsir juz III hal. 52. Yang pasti di situ tidak ada penafsiran yang tidak ada landasannya sama sekali alias ngawur seperti penafsiran si Madigol.
Berikutnya penafsiran hadits yang berbunyi:
"Tidak halal bagi tiga orang yang berada di bumi falah (kosong), melainkan mereka menjadikan amir (pemimpin) kepada salah satu mereka untuk memimpin mereka." (HR.Ahmad).
Hadits ini terdapat dalam kitab himpunan hadits koleksi Islam Jama'ah yang bernama "Kitabul-Imarah" pada halaman 25 dan dicantumkan tanpa sanad yang lengkap, jadi langsung dari sumber utamanya, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash. Dari segi penulisan sumber hadits saja mereka itu tidak faham.
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) tentang hadits di atas adalah sbb:
Setiap Muslim di dunia ini, tidak halal hidupnya alias haram. Makannya haram, minumnya haram, bernafasnya haram dll.
Dan setiap Muslim yang hidupnya masih haram karena belum bai'at, maka harta bendanya halal untuk diambil atau dicuri, dan darahnya pun halal, karena selama ia belum bai'at mengangkat seorang imam, statusnya sama dengan orang kafir dan islamnya tidak sah.
Penafsiran Nur Hasan (Madigol) ini jelas menyimpang jauh dari kebenaran dan menyesatkan-pemahaman.
Pertama, hadits ini tidak berbicara mengenai pembai'atan karena di dalamnya tidak ada lafazh bai'at sama sekali. Hadits ini hanya menyebut soal Amir atau pemimpin dalam safar/perjalanan. Hal ini ditunjukkan oleh lafazh 'ardh falatin' yang artinya daerah yang tidak berpenghuni, dan lafazh 'ammaru' yang artinya menjadikan amir atau mengangkat amir. Di situ tidak ada lafazh 'baaya'uu' yang artinya membai'at.
Kedua, hadits ini adalah hadits yang tidak sahih atau hadits dhaif atau lemah karena di dalam sanadnya (lihat kitab: Al-Ahaditsud Dha'ifah, hal. 56, juz ke-II, nomor hadits 589) ada seorang yang bernama Ibnu Luhai'ah yang dilemahkan karena hafalannya yang buruk. Dan para ulama ahlul hadits sepanjang masa, dari dulu sampai sekarang tidak menghalalkan penggunaan hadits yang dha'if sebagai hujah untuk menetapkan suatu kewajiban dalam beribadah kepada Allah, kecuali hanya dengan hujah yang sahih.
Ini merupakan bukti bahwa Nur Hasan (Madigol) sebetulnya tidak mengerti ilmu hadits, yang akhirnya menimbulkan kekacauan pemahaman dan menyesatkan.
Berikutnya, hadits (atsar atau hadits mauquf yang diucapkan Umar bin Khaththab) yang berbunyi: "Tidak ada Islam tanpa jama'ah, dan tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan tidak ada imarah tanpa ketaatan." Atsar atau hadits mauquf ini terdapat dalam Kitabul-Imarah milik Islam Jama'ah hal. 56-57, yang dicantumkan tanpa sanad yang lengkap.
Penafsiran menurut Nur Hasan Ubaidah lubis (Madigol) ialah sbb:
Islam seseorang itu tidak sah kecuali dengan berjama'ah. Dan yang dimaksud jama'ah katanya ialah jama'ahnya Nur Hasan (Madigol).
Jama'ah juga tidak sah kalau tanpa imam. Dan yang dimaksud imam ialah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol).
Harusnya Nur Hasan menafsirkan "Imamah juga tidak sah tanpa ketaatan." Sesuai dengan urutan penafsirannya pada point 1 dan 2. Akan tetapi dengan lihai Nur Hasan memutar penafsiran point 3 dengan ucapan : "Ber-Imam atau mengangkat imam atau Bai'at seseorang itu tidak sah kecuali dengan melaksanakan ketaatan kepada imam."
Pendapat Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) Ini sudah menjadi aqidah yang diyakini oleh semua pengikutnya. Padahal, hadits mauquf pun tidak sah dipakai sebagai hujjah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla juz I hal.51, artinya: "Hadits mauquf dan hadits mursal, kedua-duanya tidak dapat dipakai sebagai hujjah."

2 Penyimpangan Pemahaman Imamah Dan Bai'at

Imamah atau kepemimpinan dalam Islam lebih dikenal dengan istilah khilafah. Dan orang yang menduduki jabatan tersebut, disebut Khalifah. Adapun ta'rif atau definisial-khalifah dari segi bahasa ialah: "Seorang yang menggantikan orang lain dan menduduki jabatannya." Sedangkan pengertian menurut sara', ta'rifnya ialah :
"Penguasa yang tinggi." (lihat Mukhtarush-Shihah hal.186). Atau ta'rif syara' yang lain lagi: "Imam yang tidak ada lagi imam di atasnya." (atau pemimpin tertinggi).
Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya :
"Adalah Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat maka digantikan oleh seorang Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, yang ada adalah para Khalifah, maka jumlah mereka pun banyak". (HR.Muslim)
Imam Nawawi menerangkan hadits ini dalam syarahnya, beliau berkata:
"Para Nabi di kalangan Bani Israil memimpin mereka sebagaimana layaknya para penguasa (Umara) memimpin rakyatnya." (Lihat syarah Muslim juz XII, hal. 231 oleh Imam Nawawi).
Dengan kata lain, para Nabi itu bukanlah pemimpin spiritual semata akan tetapi mereka adalah para penguasa yang melakukan kegiatan siyasah (politik) demi kemaslahatan umatnya di dunia dan akhirat. Mereka pun melakukan perang untuk melawan musuh-musuh mereka. Dan seperti itu pula Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam di samping kedudukannya sebagai utusan Allah, beliau juga seorang panglima militer dan pemimpin tertinggi bagi Daulah Islam yang pertama.
Jadi, khalifah atau imam dalam syari'at Islam identik dengan kepemimpinan Negara. Bukan pemimpin spiritual dan keberadaannya pun tidak untuk mensahkan Islam atau keislaman seseorang seperti yang diucapkan Nur Hasan (Madigol). Tetapi ia (imam) berfungsi untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan syari'at Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini tercermin dengan jelas dalam pidato Abu Bakar Rodhiallahu Anhu pada saat pelantikannya menjadi khalifah yang pertama dalam Islam, yang artinya:
"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dijadikan penguasa atas kalian, bukan berarti aku yang paling baik diantara kalian, maka jika aku melakukan kebaikan, tolonglah aku. Dan jika aku melakukan penyimpangan, cegahlah aku. Kejujuran itu merupakan amanat dan kebohongan adalah khianat. Adapun orang-orang yang lemah diantara kalian justru kuat dihadapanku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya. Sedangkan orang-orang yang kuat diantara kalian justru lemah dihadapanku, sampai aku mengambil hak-haknya. Tidaklah seorang dari kalian meninggalkan jihad, melainkan Allah berikan (jadikan) kehinaan bagi mereka. Taatlah kepadaku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila menentang Allah, tidak ada kewajiban bagi kalian mematuhiku?" (Itmamul-Wafa'fi Siratil Khulafa', hal.16).
Di dalam riwayat lain, ada beberapa tambahan dalam khutbah beliau ini di antaranya ialah, yang artinya:
"...akan tetapi Al-Qur'an telah diturunkan, dan Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam pun telah mewariskan sunnahnya. Wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah pengikut (muttabi'), dan sekali-kali aku tidak membut-buat peraturan yang baru (bid'ah). -Dalam satu riwayat- Abu Bakar berkata: Dan apabila kalian mengharapkan wahyu dariku, seperti yang Allah berikan kepada Nabi-Nya, maka aku tidak memilikinya, karena aku hanyalah manusia biasa, jadi perhatikan oleh kalian segala tindak-tanduk dan ucapanku." (Lihat Hayatush-Shahabah juz III, hal. 427).
Dalam khutbahnya, Abu Bakar Rodhiallahu Anhu sama sekali tidak menyebut-nyebut dibai'atnya beliau menjadi khalifah adalah untuk mensahkan Islamnya kaum Muslimin dan beliau juga tidak mengatakan bahwa siapa saja yang menolak berbai'at, maka Islamnya batal. Akan tetapi beliau Abu Bakar menjelaskan fungsi imamah atau khalifah dalam syari'at Islam sebagaimana tersimpul dari khutbah ini, yaitu:
Beliau telah diangkat menjadi penguasa, seperti ucapannya: Qod wulliitu 'alaikum. Jadi, kkhalifah itu adalah penguasa, seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Khalifah bertanggung jawab untuk mengembalikan hak-hak orang yang lemah dan mengambil hak-hak yang kuat atau kaya. Ini beliau buktikan dengan memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat.
Khalifah harus menjunjung tinggi kejujuran sebagai amanah dan menjauhi ucapan dusta yang merupakan pengkhianatan.
Menerangkan kepada umat batas-batas ketaatan kepada khalifah, yaitu sepanjang ia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mentaati dan mematuhi khalifah itu hukumnya wajib selama ia mematuhi Al-Qur'an dan Sunnah.
Khalifah tidak boleh membuat-buat peraturan (syari'at) baru (bid'ah) dalam agama, tetapi ia harus bersikap sebagai muttabi', yaitu mengikuti aturan syari'at.
Khalifah tidak dapat menggantikan kedudukan Nabi sebagai penerima wahyu.
Khalifah adalah manusia biasa, dan umat senantiasa harus melakukan kontrol terhadap segala tindak tanduk serta ucapannya. Dengan kata lain, umat tidak boleh menerima begitu saja segala ucapan dan perbuatannya.
Dalam sejarah, kita bisa melihat bahwa Abu Bakar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah pengganti Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana layaknya seorang kepala negara. Begitu pula khalifah-khalifah sesudah beliau, seperti: Khalifah Umar bin Khatthab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan seluruh khalifah dari Bani Umayyah serta Bani 'Abbasiyyah. Inilah pengertian 'IMAMAH' yang sesungguhnya menurut syari'at Islam. Dari keterangan dan hujah yang jelas ini, kita bisa menyimpulkan betapa sesat dan menyimpangnya ajaran kelompok islam jamaah ini.

3. Memahami Konsep Bai'at Dalam Syari'at

Bai'at adalah perjanjian untuk taat, dimana orang yang berbai'at bersumpah setia kepada imam atau khalifahnya untuk mendengar dan taat kepadanya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun hal yang tidak disukai, dalam keadaan mudah ataupun sulit. Patuh kepada khalifah atau berbai'at untuk mematuhinya hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam, yang artinya:
"Maka apabila engkau melihat adanya khalifah, menyatulah padanya, meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka menghindar." (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi', lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 36).
Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan, bahwa wajibnya bai'at adalah kepada khalifah, jika ada atau terwujud meskipun khalifah melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji seperti memukul,dll. Thabrani mengatakan bahwa yang dimaksud menghindar ialah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan /firqah-firqah), dan tidak mengikuti seorang pun dalam firqah yang ada. (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal.37). Dengan kata lain, apabila khalifah atau kekhalifahan sedang vakum, maka kewajiban bai'at syar'i pun tidak ada. Juga, sabda Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam, yang artinya:
"Siapa mati tanpa bai'at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyah." (HR. Muslim).
Yang dimaksud bai'at disini ialah bai'at kepada khalifah, yaitu jika masih ada di muka bumi.
Nur Hasan (Madigol), pemimpin kelompok islam jama'ah menggunakan hadits ini untuk dijadikan dasar mengambil bai'at dari pengikutnya bagi dirinya. Ini adalah manipulasi pemahaman yang jauh menyimpang dan menyesatkan. Dengan kata lain Nur Hasan (Madigol) dan anaknya yang menjadi penerusnya yang menjadi imam Islam Jama'ah ini, telah menempatkan dirinya sebagai khalifah, padahal ia dan juga anaknya sama sekali bukan khalifah dan tidak sah atas pengakuan kelompoknya itu. Dan menurut Nur Hasan, mati jahiliyah dalam hadits ini ialah sama dengan mati kafir. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat para ulama ahli hadits, seperti disebutkan oleh Ibnu Hajar, bahwa mati jahiliyyah dalam hadits ini bukanlah mati kafir, melainkan mati dalam keadaan menentang penguasa. (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 7).
Disamping itu, pemahaman Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) itu mengandung konsekuensi pengkafiran terhadap sebagian sahabat Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam yang tidak mau berbai'at kepda khalifah, seperti: Mu'awiyyah bin Abi Sufyan yang tidak mau berbai'at kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak ada seorang sahabatpun yang mengkafirkan Mu'awiyyah, termasuk Khalifah Ali. Begitu pula Husein bin Ali yang menolak berbai'at kepada Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah, juga bin Zubair, padahal khalifah-khalifah itu merupakan penguasa-penguasa kaum Muslimin yang sah, tidak seperti Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) dan anak-anaknya. Dan mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam termasuk perbuatan yang bisa melebur semua amal.
Dan terdapat ayat yang artinya:
"Bahwasannya orang-orang yang berjanji (berbai'at) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat melanggar janji itu, akan menimpa dirinya sendiri dan siapa menepati janji kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Q.S.Al-Fath:10)
Maka aliran yang mendasarkan ayat ini sebagai hujah untuk mengambil bai'at bagi jama'ah pengikutnya tidaklah dapat dibenarkan dan merupakan pemahaman yang menyimpang dan menyesatkan. Karena surat Al-Fath ayat 10 menceritakan peristiwa Baitur Ridhwan, yaitu berbai'atnya para sahabat kepada Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam dalam tekad untuk memperjuangkan nasib Utsman yang menurut perkiraan mereka ditawan dan dibunuh orang-orang Quraisy. Kejadian ini terjadi di Hudaibiyah tatkala rombongan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam yang hendak melakukan umrah ke Makkah ditahan orang-orang Quraisy.
Maka tidak ada keterangan yang jelas tentang bai'at sebagai suatu syarat sahnya keislaman seseorang. Dalam hadits-hadits juga tidak diperoleh periwayatan tentang pembai'atan atas keislaman seseorang. Jika hal itu ada tentunya banyak periwayatan yang demikian, karena hal seperti itu merupakan peristiwa yang penting dalam sejarah Islam dan memiliki konsekuensi hukum syariat yang besar.
Dan Ketahuilah bahwa sekarang ini, kaum Muslimin atau dunia Islam tidak mempunyai Khalifah yang memimpinnya. Maka hendaklah setiap Muslim menjauh dari firqah-firqah yang menyesatkan. Dalam hal ini Imam Bukhari telah menyusun satu bab khusus yang berjudul "Bagaimana perintah syari'at jika jama'ah tidak ada?"
Ibnu Hajar berkata, bahwa yang dimaksud di sini ialah: Apa yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dalam kondisi perpecahan diantara umat Islam, dan mereka belum bersatu di bawah pemerintahan seorang khalifah.
Kemudian Imam Bukhari menukilkan hadits Hudzaifah bin Yaman Rodhiallahu Anhu yang bertanya kepada Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam, yang artinya:
"Maka, bagaimana jika mereka, kaum Muslimin tidak memiliki Jama'ah dan tidak memiliki Imam?. Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Maka tinggalkanlah olehmu semua golongan yang ada, meskipun engkau terpaksa makan akar pohon, sehingga engkau menjumpai kematian dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu."
Maksud hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, yaitu apabila khalifah tidak ada, maka menghindar. Hanya ada tambahan dalam hadits ini "meskipun engkau terpaksa makan akar pohon? dst."
Menurut Baidhawi, kata-kata tersebut merupakan kinayah atau kiasan dari kondisi beratnya menanggung sakit. Selanjutnya Baidhawi berkata:
"Makna hadits ini ialah apabila di bumi tidak ada khalifah, maka wajib bagimu menghindar dari berbagai golongan dan bersabar untuk menanggung beratnya zaman." (Wallahu A'lam). (Lihat Fathul Bari, juz XIII, hal. 36).
Demikian itulah pemahaman yang berdasarkan argumentasi dan hujjah yang jelas dan dapat dipercaya. Kami berharap amir berikutnya sepeninggal Madigol menyadari kesesatannya dan bertaubat kepada Allah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam dan segera mengajak jama'ahnya berhaluan kepada ajaran yang lurus. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.
4. Penyimpangan Dan Penyalahgunaan Dalam Mengambil Hukum (Ijtihad)
Banyak sekali pemahaman Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) yang menyimpang dari syari'at dan ditelan mentah-mentah oleh para pengikutnya/ jama'ahnya.
Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) menegaskan bahwa imam, dalam hal ini dirinya sebagai imam jama'ah, wajib ijtihad (mengeluarkan hukum) untuk kepentingan jama'ahnya. Dalil yang digunakannya:
"Siapa saja penguasa, yang menguasai suatu persoalan dari umatku, kemudian ia tidak memberi nasihat dan ijtihad bagi mereka sebagaimana ia menasihati dan bersusah payah untuk kepentingan dirinya, maka pasti Allah telungkupkan wajahnya di Neraka pada hari kiamat." (HR.Thabrani)
Hadits ini terdapat (dimasukkan) dalam kitab Kanzul Ummal edisi Islam Jama'ah dengan judul Kitabul Imarah, hal. 21. Selanjutnya Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini, ia sebagai imam harus memberi nasehat dan ijtihad kepada jama'ah, sebab kalau tidak, ia akan dimasukkan ke dalam Neraka. Oleh karenanya jama'ah harus taat kepada Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), kalau tidak akan masuk Neraka.
Adapun yang dimaksud dengan ijtihad menurut Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) ialah ide atau ilhamnya untuk membuat peraturan atau undang-undang. Yaitu dengan menafsirkan menurut kemauan sendiri dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits. Sebagai contoh: Dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kewajiban infaq, seperti firman Allah yang artinya:
"Dan sebagian dari apa yang Kami beri rizki kepada mereka, mereka menginfaqkannya". (surah Al-Baqarah: 3)
Menurut Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), lafazh infaq di dalam ayat ini dan juga ayat-ayat yang lain ialah setoran atau pemberian harta dari anggota jama'ah kepada imam Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Sedangkan besarnya setoran ditetapkan oleh Madigol sebesar 10 % dari setiap rizki yang diterima anggota jama'ahnya. Ini merupakan ijtihad Madigol yang harus ditaati. Tinggal terserah para anggota jama'ah, apakah mau masuk Surga atau Neraka. Kalau mau masuk Surga ya harus taat kepada Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Na'udzubilahi min dzalik.
Menurut pendapat yang benar dari para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah, mengenai hadits tentang ijtihad ialah bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan pada saat tidak ada dalil/nash dari Al-Qur'an maupun Hadits. Hal ini dapat dapat diperjelas dari suatu riwayat dari kawan-kawan Mu'adz bin Jabal, dari Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam, ketika beliau mengutus Mu'adz ke Yaman, maka beliau bersabda, yang artinya:
"Bagaimana engkau menghukum?." Muadz berkata: "Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah." Beliau bersabda: "jika tidak ada dalam Kitabullah?." Muadz menjawab: "Maka dengan sunnah Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam." Beliau berkata lagi: "jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?." Mu'adz menjawab: "Aku akan berijtihad dengan fikiranku." Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq pesuruh Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)
Hadits ini dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi isnadnya tidak muttasil (tidak bersambung). Dan hadits ini diterima dan dijadikan hujah oleh sebagian besar para ulama ahli hadits dan ahli ushul fiqh. Nah kini kita bandingkan dengan bid'ahnya Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) yang membuat-buat peraturan dengan caranya sendiri.
Dan mengenai pemahaman ayat tentang infaq di atas, yang benar menurut pemahaman ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah adalah seperti yang dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir, mengenai infaq mencakup dua aspek, yaitu:
Berbuat baik kepada semua makhluk, yaitu dengan memberi manfaat yang besar kepada mereka.
Zakat Mafrudhah atau yang diwajibkan. (Lihat Tafsir Ibnu katsir, juz I, hal. 42). Adapun zakat mafrudhah, sudah diatur tata-caranya menurut syari'at yang sudah jelas, yaitu harta yang sudah mencapai nishabnya (batas jumlah yang telah ditentukan) dan telah lewat masa satu tahun, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Ali Rodhiallahu Anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallahu 'Alaihi wa Sallam, yang artinya: "Apabila ada bagimu 200 dirham dan lewat atasnya satu tahun maka zakat padanya 5 dirham, dan tidak wajib atasmu sesuatu hingga ada bagimu 20 dinar dan lewat atasnya satu tahun maka (zakat) padanya setengah dinar. Dan apa-apa yang lebih, maka (zakatnya) menurut perhitungannya. Dan tidak ada di satu harta zakat hingga lewat atasnya satu tahun." (HR.Abu Dawud). Misalnya uang dinar (emas) apabila telah mencapai nishab 20 dinar, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar setengah dinar. Begitu pula mengenai zakat ternak, zakat hasil pertanian dan lain-lain semua sudah ada ketentuannya menurut syari'at yang sudah lengkap. Maka Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) tidaklah perlu digubris dengan membuat syari'at baru, bagi orang yang mau berfikir.
Dari keterangan ini maka Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) telah membuat syari'at baru kepada jama'ah pengikutnya dan mereka termasuk ahli bid'ah yang sesat. Penglihatan, pendengaran dan hati mereka telah ditutup oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga mereka tidak bisa melihat, mendengar, dan merasakan getaran kebenaran dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya orang-orang yang dikehendaki-Nya saja yang akan keluar, insyaf dan bertaubat menuju ajaran yang lurus.

5 Tentang Doktrin Ilmu Manqul

Menurut pengakuan Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) bahwa ilmu itu tidak sah atau tidak bernilai sebagai ilmu agama kecuali ilmu yang disahkan oleh Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) dengan cara mankul (mengaji secara nukil), yang bersambung-sambung dari mulut ke mulut dari mulai Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol) sampai ke Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi wa Sallam lalu ke Malaikat Jibril 'Alahi sallam dan Malaikat Jibril langsung dari Allah. Dengan kesimpulan bahwa ilmu agama itu sah jika sudah dimankuli oleh Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), dan dia telah menafikan semua keilmuan Islam yang datang dari semua ulama, ustadz, kiyai, dan dari semua lembaga keislaman yang ada di dunia ini. Menurut pengakuan Madigol ini hanya dirinya satu-satunya orang yang punya isnad/sandaran guru yang sampai ke Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam. Sedangkan ulama-ulama lainnya di seluruh dunia tidak ada dan ilmunya tidak sah dan haram, kata Madigol. Sehubungan dengan faham ilmu manqul ini mereka bersandar pada suatu ucapan seorang Tabi'in yang bernama Abdullah bin Mubarok yang artinya:
"Telah berkata Abdullah bin Mubarok : "Sandaran guru itu termasuk dari pada agama. Dan kalaulah tidak ada isnad, tentu orang akan mengatakan semau-maunya dalam agama ini." (Dapat dilihat dalam hadits riwayat Imam Muslim, jilid I hal. 9 bab Muqaddimah).
Padahal menurut pemahaman yang benar, maksud dari ucapan tersebut adalah diperuntukkan bagi ahli-ahli hadits yang memang harus. Yaitu pada jaman atau tahap-tahap permulaan hadits itu di himpun. Jaman itu jaman dari mulai sahabat Nabi Shollallahu 'Alaihi wa Sallam kemudian jaman Tabi'in (generasi yang belajar kepada generasi sahabat) kemudian jaman Tabi'it Tabi'in (generasi yang belajar kepada generasi Tabi'in) kemudian generasi berikutnya belajar kepadanya itu.
Telah kita ketahui di dalam sejarah Islam, bahwa hanya sampai kepada generasi ketiga yaitu Tabi'it Tabi'in pun ilmu agama telah tersebar luas, lintas pulau dan lintas bangsa, dan syari'at telah sempurna ditambah dengan adanya ulama-ulama yang mencatatnya dengan teliti dan cermat sehingga kita generasi sekarang dapat belajar dan melihat hasil-hasil jerih payah para ulama jaman dahulu dalam kitabnya.
Kemudian, bagaimana mungkin seorang yang bernama Madigol/Nur Hasan dari Jawa Timur Indonesia yang lahir baru kemarin (1915 Masehi), yang sudah ribuan tahun jaraknya dari bermulanya sumber ilmu Islam itu kemudian mengklaim dirinyalah yang ilmunya sah dan yang lain batil. Maka jika dibalik dengan ilmunya Madigol keliru dan sesat itulah yang lebih tepat dan meyakinkan. Maka hanya orang-orang yang masih dikaruniai oleh Allah akal sehat sajalah yang dapat memahami hal ini.
Camkanlah kata-kata yang telah keluar dari amir islam jamaah kepada salah seorang angota jama'ahnya yang telah melanggar aturannya dengan mempelajari ilmu Islam, yaitu bahasa Arab dari luar :
"Kita ini (Islam Jama'ah) adalah ahli sorga semuanya, jadi tidak usah belajar bahasa arab, nanti kita di Surga akan bisa bahasa Arab sendiri. Pokoknya yang penting kita menepati lima bab yaitu doktrin setelah berbai'at 1. Mengaji, 2. Mengamalkan, 3. Membela, 4. Berjama'ah, 5. Taat Allah, Rasul, Amir, pasti wajib tidak boleh tidak masuk sorganya."
Inilah bahaya ilmu manqul itu. Bukankah itu penipuan terselubung besar-besaran di tengah-tengah lautan umat Islam di dunia ini ?
Sampai pernah ada kejadian, salah satu anggota Islam Jama'ah, bapaknya meningal dunia. Karena bapaknya belum ber-amir dan berbai'at, maka dihukumi mati kafir. Maka seorang anak tidak boleh mendoakan dan mensolati jenazahnya. Tetapi karena didesak oleh keluarganya akhirnya dengan terpaksa dia mensolati tetapi tidak berwudhu karena takut melanggar bai'at. Daripada melanggar bai'at yang akibatnya masuk neraka, katanya, lebih baik menipu dan membohongi sanak keluarga dan kaum muslimin lainnya. Sifat seperti ini kalau bukan orang munafik siapa lagi? Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya :
"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak sadar." (Q.S.Al-Baqarah:9)
Benar, mereka tidak sadar bahwa dirinya telah tertipu. Na'udzubilahi min dzalik.
disusun oleh Abu 'Abdirrahman Muhammad Taufiq

1 komentar: